Widget HTML Atas

Ayah yang Istikamah Berjuang

ayahku inspirasiku

Ayahku inspirasiku. Kalimat ini terdengar klise. Bagi saya klise tidak masalah. Karena kalimat ini salah satu kalimat yang dapat mewakili kebanggaan dan kekaguman saya pada sosok seorang ayah. Sosok yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini.

Ayah saya adalah sosok seorang ayah biasa. Dianggap biasa oleh orang-orang di luar sana, tapi bagi kami anak-anaknya, ayah adalah sosok ayah yang luar biasa. Mungkin kami dianggap berlebihan, tidak apa, bagi kami, ayahku adalah inspirasiku. Ayah yang sudah rela berkorban demi kebahagiaan keluarga dan anak-anaknya.

Sosok Yang Keras Dalam Beragama

Keras di sini bukan berarti ikut aliran garis keras, tetapi beliau istikamah dalam menjalankan sendi-sendi agama. Prinsip-prinsip agama dipegang teguh dalam menjalani kehidupan. Termasuk dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya.

Contoh kecil dalam urusan salat, sejak kecil kami harus disiplin menjalankan salat. Waktu adzan tiba kami harus sudah berangkat menuju mushalla. Jika tidak bersegera, kami akan kena marah atau bahkan dijewer. Biasanya itu terjadi setelah sekian puluh kali panggilan tidak kami dengarkan. Kami terlalu asyik bermain gobag sodor atau bentengan.

Ohya, saya adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Tiga perempuan dan tiga laki-laki. Jarak umur kami tidak terpaut jauh, sekitar tiga tahunan. Jadi kami keluarga besar dan ramai. Orang bilang ‘kemriyek’. Si Mbak pertama melapor, kakak membela, satu teriak-teriak, satu menangis, satu tertawa-tawa, ibu marah-marah, itu hal biasa. Menjadi hal yang lucu kalau kami mengingatnya.

Ada kejadian yang tidak bisa kami lupakan. Setiap kali menjelang subuh, ayah atau ibu akan mengetuk kamar dan membangunkan kami. Dipanggil semua anaknya, sampai semua anaknya terbangun. Berwudhu dan menuju mushalla.

Nah, usai salat jama’ah subuh, ayah melihat ada satu anaknya yang belum ikut salat subuh. Kemudian ayah kembali mengecek ke kamar. Benar saja, ternyata ada anak yang masih tidur. Seketika itu ayah langsung membangunkannya ala militer dengan jurus sabetan sajadah. Anak yang mendapatkan sabetan sajadah tersebut langsung tergopoh-gopoh bangun dan bergegas ke mushalla. Antara malu dan takut. Anak tersebut adalah saya. He he…

Sampai kami beranjak dewasa, ayah masih sering mengingatkan untuk tidak meninggalkan salat dalam kondisi apapun. Bahkan dulu ketika saya akan merantau ke Jakarta, ayah juga tidak lupa berpesan dan memberikan nasihat singkat, “Dimana saja, jangan sampai meninggalkan salat, dan jadilah orang yang jujur, insya Allah ditolong sama Allah”. Pesan yang singkat tapi berat.

Kerasnya ayah dalam hal ini mengajarkan kami, bahwa nilai-nilai agama merupakan pondasi dalam menjalankan kehidupan. Salat merupakan tolok ukur dalam beragama Islam. “Yen salatmu blarah, mesti liyane melu mblarah!, kalau salatmu berantakan, maka urusan lainnya juga akan berantakan,” begitu tegas ayah dalam sebuah nasihatnya.

Sosok Yang Peduli Pendidikan dan Masa Depan

Ayahku bukan seorang yang bergelar sarjana. Tapi bagi kami ayah adalah seorang sarjana kehidupan. Pendidikan formalnya tidak tamat sekolah dasar. Tapi dasar-dasar kehidupan sudah kami rasakan. Beliau sempat mencicipi pesantren di Singgahan Tuban. Tidak terlalu lama, hanya beberapa tahun. Itulah mengapa, ayah sangat berharap anak-anaknya tidak sekadar mencicipi tetapi merasakan lebih lama di pesantren. Menyelami ilmu-ilmu di pesantren lebih banyak.

Kami tahu pendidikan saat itu mahal dan langka. Era 60-an tidak semua orang mau dan mampu sekolah. Bisa membaca dan menulis saat itu menjadi hal yang luar biasa. Cita-cita menjadi santri saat itu juga bukan cita-cita yang mulia, karena santri identik miskin dan tidak bisa kaya. Lulusan pesantren hanya dipandang sebelah mata.

Tapi tidak bagi ayah, berbekal semangat dan tekad yang bulat, di masa kecil ayah sudah bekerja, membantu dan ‘ngawulo’ di rumah kiyai agar dapat belajar dan mencecap ilmu agama. Belajar langsung dari kiyai.

Ayah selalu memberikan nasihat kepada kami, bahwa mencari ilmu itu penting, karena orang yang berilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah, diberikan derajat yang tinggi, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi, kudu sinau sing sregep, gelem rekoso perkoro golek ilmu.

Demikian ayah selalu memberikan motivasi kepada kami. Agar tidak berhenti belajar, tidak merasa cukup dengan ilmu-ilmu yang sudah diperoleh. “Anakku kudu sekolah kabeh, minimal sampe tutuk Aliyah, nek ono sing pe nerusno kuliah, ta dungakno iso golek dewe-dewe”, tutur ayah penuh semangat.

Dan alhamdulillah, cita-cita ayah terwujud. Kami semua selesai dan lulus hingga jenjang Madrasah Aliyah. Sekaligus menyelesaikan pendidikan di pesantren. Semua biaya pendidikan dibiayai oleh ayah secara penuh. Hampir tidak pernah telat sekalipun dalam pembayaran. Selalu tepat waktu.

Tidak berhenti sampai jenjang SMA, mewarisi semangat untuk terus belajar, akhirnya kami juga menyelesaikan pendidikan strata satu. Bahkan dua diantara kami juga sudah menyelesaikan Pendidikan S2.

Dulu ayah juga berpesan, mencari ilmu jangan punya keinginan mau jadi apa atau biar dapat gelar apa, tapi dengan ilmu itu kami mau berjuang dan bermanfaat untuk masyarakat. Takdir Allah, kami semua berjuang dan bermanfaat untuk masyarakat. Kami menjadi guru di berbagai sekolah formal dan juga menjadi guru diniyah dan Taman Pendidikan Al Qur’an.

Kami juga tidak lupa, dulu orang-orang mencibir dan menghina, cuma petani kok mau menyekolahkan anak, petani sayur kangkung saja kok mau nguliyahkan anak, mau jadi apa anak disekolahkan tinggi-tinggi, dan masih banyak kalimat sinis lainnya, yang ditujukan kepada ayah kami. Ayah tidak menanggapi, justeru dianggap sebagai motivasi.

Ayah kami tidak selesai sekolah tapi ia mampu menyekolahkan semua anaknya bahkan sampai perguruan tinggi. Ayah kami tidak selesai madrasah tapi ia mampu mendirikan madrasah diniyah. Ayah kami tidak cukup kaya tapi untuk pendidikan anaknya dan berjuang di pendidikan ia tidak pernah meminta-minta.

Ya, menjadi apa saja yang penting bermanfaat untuk umat. Demikian tegas ayah di sela-sela kami berkumpul bersama. Semoga ayah bangga kepada kami. Semoga kami dapat melanjutkan cita-cita dan harapan orang tua. Semoga semuanya menjadi amal jariyah buat ayah tercinta. Insya Allah, kami akan terus mewujudkan cita-cita ayah, menjadi anak yang soleh dan berguna untuk bangsa dan agama.

Pekerja Keras dan Istikamah dalam Berjuang

Ayahku juga seorang pekerja keras. Selain sebagai petani, ayah juga berdagang dan berwirausaha. Memulai dari menjadi buruh tani hingga mampu membeli sawah sendiri. Memulai bekerja kuli hingga memiliki usaha sendiri. Bahkan ayah juga pernah menarik becak. Semua pernah beliau lakoni tanpa gengsi.

Sebagai anak petani kami semua pernah merasakan ikut bekerja sebagai petani. Mulai menanam jagung, menanam padi, mencabuti rumput, memupuk tanaman, menyemprot tanaman, mengangkut hasil panen, dan lain-lain. Tentu saja capeknya luar biasa. Panas dan gerah.

Kalau kami mengeluh, ayah hanya bilang, “Jangan mengeluh, ini buat sekolah kamu!”. Kalau sudah dijawab seperti itu kami hanya bisa diam sambil terus meneruskan membantu pekerjaan di sawah. Lalu, di antara kami ada yang melontarkan pertanyaan, “Boleh nggak kalau kami sudah sekolah tinggi tidak bekerja di sawah?”

“Boleh saja, kalau kalian sudah pintar-pintar, nggak perlu turun ke sawah, sawah khan bisa digarapkan orang lain”, demikian jawab ayah kala itu sambil terus mencabuti rumput di sela-sela tanaman padi.

Kerja keras ayah mengajarkan kepada kami akan besarnya tanggung jawab terhadap keluarga. Kewajiban seorang ayah sebagai pemimpin keluarga. Kewajiban orang tua terhadap keselamatan, kebahagiaan, dan pendidikan anak-anaknya. Besarnya tanggung jawab tersebut ayah rela berkorban apa saja.

Ayah bekerja keras bukan untuk diri sendiri. Bukan untuk memperkaya diri sendiri. Tetapi ayah juga mengajarkan kami untuk berjuang dan bermanfaat di masyarakat. Jalan juangnya antara lain, menjadi ketua Takmir Masjid dan Mushalla, pendiri Madrasah diniyah dan Taman Pendidikan Al Qur’an, serta aktif di berbagai organisasi, termasuk di ormas terbesar di Indonesia.

“Anak-anakku kudu seneng berjuangan”, demikian ayah selalu berpesan. Agar anak-anaknya tidak meninggalkan untuk berjuang demi agama, bangsa dan negara.

Ayah juga ingin anak-anaknya kelak bisa hidup lebih baik, nilai-nilai agama dipegang teguh, pendidikannya lebih tinggi dari orang tuanya, dan meninggalkan anak-anaknya dalam kondisi mapan dan berkecukupan.

Mungkin bukan seberapa besar harta yang ditinggalkan, tetapi semangat belajar, berjuang, bertanggung jawab terhadap anak dan keluarga, tanggung jawab di dunia dan juga diakhirat, inilah yang terpenting. Ayah tidak ingin melihat anak-anak yang ditinggalkan dalam kondisi lemah, baik lemah ilmu, lemah ekonomi, atau pun lemah agamanya.

Dan kami bangga, ayah kami meninggalkan kami dan mewarisi kami semuanya. Bahkan secara ekonomi saat ini kami belum semua mampu mengikuti jejaknya. Semoga kami bisa mengikuti keistikamahan beliau dalam berjuang.

Selamat hari AYAH. Semoga Haji Mustaqim, ayah kami, ditempatkan oleh Allah di tempat yang terbaik, diampuni dosanya dan diterima semua amal kebaikannya. Lahul Fatihah. Aamiin

No comments for "Ayah yang Istikamah Berjuang"